Ketika seseorang mengalami suatu peristiwa dengan tingkat reaksi emosional yang cukup tinggi, maka hal ini akan meninggalkan jejak saraf lain dalam sebentuk memori.
Keyakinan yang terbentuk pada memori khusus ini akan kembali terpicu ketika mendapatkan stimulasi dari sesuatu yang mirip dengan kejadian pada peristwa di masa lalu tersebut.
Karena fungsi reaksi emosi di otak kita merekatkan kita dengan peristiwa yang terjadi, maka hal ini akan membuat seseorang seolah-olah mengalami kembali kejadian yang pernah terjadi di masa lalunya.
Misalkan, seorang anak yang sangat takut kepada orang tuanya. Walaupun anak tersebut sudah dewasa dan bahkan mungkin sudah berkeluarga, cenderung masih merasa takut (dan perasaan itu terasa sangat nyata) pada kedua orang tuanya.
Dr. David Berceli, seorang pakar kecerdasan tubuh yang mengajarkan teknik melepaskan emosi negatif dari tubuh, mengatakan bahwa Hewan Rusa ketika mengalami ketakutan yang amat sangat saat dikejar Harimau.
Ketika telah berada dalam situasi aman, maka tubuh Rusa akan bergetar sedemikian rupa untuk melepaskan berbagai emosi yang dirasa sebelumnya.
Menurut Berceli, tubuh manusia pun demikian. Jika seseorang mengalami sebuah peristiwa traumatik, maka tubuh secara otomatis akan bergetar.
Namun, kebanyakan manusia mencoba melawan getaran tubuh tersebut dan hal ini menyebabkan berbagai emosi negatif yang ada tidak akan sepenuhnya keluar dan masih tersimpan dalam bentuk memori di jaringan otot tubuh.
Karena otak senantiasa menerima pesan dari tubuh, maka memori atas respon yang masih tersimpan di otot akan dikirimkan kepada otak dan memberitahu bahwa peristiwa traumatis belum berakhir (walaupun kenyataannya peristiwa itu sudah lama berlalu).
Memori-memori traumatis ini akan terus diproses di dalam otak sehingga menyebabkan otak terus mengirim pesan ke seluruh tubuh bahwa peristiwa traumatik tersebut belum berakhir.
Selanjutnya, reaksi-reaksi emosional (perasaan takut, sedih, sakit hati, dan perasaan sejenis lainnya) akan tetap muncul.
Secara sederhana, ketika seseorang mengalami sejumlah ciri dari suatu peristiwa yang tampak serupa dengan kenangan masa lampau yang mengandung muatan emosi, maka akal emosional akan menanggapinya dengan memicu perasaan-perasaan yang berkaitan dengan peristiwa yang diingat itu.
Orang tersebut akan bereaksi terhadap keadaan saat ini seolah-olah keadaan itu adalah masa lampau. Dengan kata lain, masa lalu diposisikan sebagai kondisi saat ini.
Inilah yang menyebabkan seseorang masih tetap hidup di masa lalu, walau telah ada di masa sekarang. Pikiran dan tubuhnya seolah-olah secara nyata masih hidup di masa lalu.
Dengan beragam teknologi pikiran yang ada saat ini, memori emosi tersebut bisa dilepaskan, agar otak tidak lagi menerima pesan dari memori traumatik di masa lalu.
Ketika hal itu berhasil kita lakukan, maka kita akan terbebas dari belenggu masa lalu. Kita hanya bisa mengambil hikmah dari masa lalu, tanpa harus hidup di masa lalu lagi.
Karena kehidupan yang ada adalah “saat ini” untuk merencanakan masa depan yang lebih baik lagi. Seperti kata William James, Bapak Psikologi :
“Untuk memahami dunia dengan cara berbeda, kita harus bersedia untuk mengubah sistem keyakinan kita, membiarkan masa lalu berlalu, memperluas rasa kekinian kita, dan melarutkan rasa takut dalam pikiran kita.”
Penulis : Syahril Syam, ST, C.Ht, L.NLP Pakar Pengembangan Diri