Pernahkah Anda berpikir mengapa sebagian orang hidup dalam keberlimpahan, seolah-olah semesta terus memeluk mereka dengan rezeki, kebahagiaan, dan peluang? Sementara yang lain berjalan dengan langkah berat, hidup seperti medan pertempuran yang tak kunjung reda?
Perbedaannya bukan terletak pada nasib, melainkan pada mentalitas yang terbentuk dalam diri.
Kondisi mental bukan sekadar suasana hati sesaat. Ia adalah medan magnet yang menarik realitas ke dalam hidup kita. Bila seseorang telah terbiasa merasa layak untuk bahagia, maka kebahagiaan akan datang bukan sebagai kejutan, tapi sebagai kebiasaan. Ia tak mencarinya dengan panik, karena jiwanya telah menjadi rumah bagi rasa syukur dan kelimpahan.
Sebaliknya, jika dalam diri tertanam keyakinan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang jauh, sulit, atau bahkan tak pantas diraih—maka seindah apa pun yang datang, tak akan mampu bertahan lama. Pikiran dan perasaan kita akan menolaknya secara halus. Bukan karena tak diberi, tapi karena tak merasa layak menerima.
Layak—itulah kata kunci. Seperti kata seorang sahabat bijak, “Engkau tidak mendapatkan apa yang engkau inginkan. Engkau mendapatkan apa yang engkau rasa layak menerimanya.”
Bayangkan Tuhan seperti hujan lebat yang tak pernah berhenti mengguyur bumi. Tak ada yang pelit dari sisi-Nya. Tapi pertanyaannya: dengan wadah sebesar apa Anda menampung curahan itu? Apakah Anda menampungnya dengan kolam yang luas, atau hanya dengan cangkir kecil?
Wadah itu adalah mental Anda.
Dan ukuran mentalitas itulah yang menentukan seberapa banyak Anda mampu menerima.
Ada mereka yang hidup dengan mentalitas kelimpahan. Mereka terbiasa dengan rasa syukur, percaya diri, ketenangan, dan keyakinan bahwa hidup penuh peluang.
Mereka melihat Tuhan sebagai sumber segala kebaikan, bukan sebagai sosok yang menguji tanpa henti. Bahkan ketika badai datang, mereka memandangnya sebagai pengantar hikmah. Tak ada yang negatif bagi jiwa yang lapang.
Mereka hadir dalam dunia ini dengan semangat yang menyala. Hidup dianggap sebagai ladang emas yang selalu bisa digarap. Mereka suka bertemu orang bijak, senang belajar, dan tidak pernah berhenti berkembang.
Tapi meski mereka sering diberkahi hal besar, mereka tidak sombong. Karena dalam batin mereka, kelimpahan bukanlah sesuatu yang aneh—mereka sudah terbiasa.
Di sisi lain, ada yang terjebak dalam mentalitas kekurangan. Mereka terbiasa merasa kecil, khawatir, iri, atau takut gagal. Tuhan bagi mereka adalah penguasa yang menuntut, bukan penyayang yang memberkati.
Dunia mereka dipenuhi rasa tidak aman, dan ketika menerima kebaikan, mereka malah kaget—lalu menyombongkan diri seolah itu satu-satunya pencapaian besar dalam hidup.
Mereka pun enggan tumbuh. Lingkungan yang mendorong perubahan justru mereka jauhi. Mereka takut tak bisa mengikuti, merasa tak pantas, dan menghindari pergaulan yang memperluas wawasan.
Ironisnya, saat hidup memberikan kejutan baik, mereka malah merasa itu ‘terlalu besar’ untuk mereka. Karena belum terbiasa. Karena mentalnya belum siap.
Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, tidak pernah membatasi anugerah-Nya. Tapi Dia merespon sebagaimana manusia memandang-Nya.
“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”
Inilah hukum batin yang sering terlupakan: Kita tidak hidup sesuai dengan keinginan kita. Kita hidup sesuai dengan ukuran batin kita.
Jika ingin mengubah hidup, ubahlah persepsi tentang diri sendiri.
Jika ingin menerima lebih banyak, perbesarlah wadah batinmu.
Dan jika ingin mengenal Tuhan yang Maha Memberi, latihlah dirimu untuk merasa layak menerima-Nya.
Karena takdir bukan tentang diberi atau tidak diberi, tapi tentang apakah engkau siap menampungnya.
(IA)


 
 
 





 
 
 
 
 
 





